Rabu, 28 Desember 2016

Menyelami Makna Dari Sebuah Kata Toleransi





Menyelami Makna Dari Sebuah Kata Toleransi

Saban hari, silih berganti, tahun dan hari. Kita sering kali  mendengarkan kata toleransi, apalagi mendekati sesebuah perayaan maupun peringatan tertentu. Dan itu tidak asing lagi bagi warga negara berpenduduk beragam seperti Indonesia, yang terdiri dari berbagai macam suku, ras, etnik dan agama tentulah sangat diperlukan sikap toleransi demi terciptanya kerukunan hidup bersama.
Namun melihat fenomena yang tengah berlaku saat ini, banyak orang baik itu yang Muslim maupun non-Muslim telah salah dalam memaknai toleransi sehingga melanggar aturan serta batas-batas bertoleransi dalam beragama itu sendiri.
Seperti yang terjadi setahun silam. Kehadian mahasiswa dalam Misa Natal di gereja merupakan bentuk partisipasi (musyarakah) bagi agama lain.
 Seperti yang dilansir oleh m.hidayatullah.com-DESEMBER 2015 lalu publik kembali dikejutkan oleh kelakuan mahasiswa PTAIN. Kali ini belasan Mahasiswa UIN DIY ikut merayakan Misa malam Natal di dalam sebuah gereja di Solo yang dipimpin oleh Pendeta Wahyu Nugroho.
“Pak Wahyu adalah dosen kami di Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam. Beliau mengajar mata kuliah teks suci Al-Quran dan kitab agama lain. Kami ingin mengucapkan selamat Natal saja dengan datang ke sini,” beber Taufik, salah seorang mahasiswa yang turut hadir dalam perayaan tersebut. Para jemaat gereja menyambut mereka dengan hangat, bahkan usai acara, ada beberapa yang meminta foto bersama mahasiswa/i UIN tersebut dengan latar belakang pohon Natal. Meski sang rektor sudah meralat acaranya sebenarnya, namun banyak kalangan mengkritik tindakan ini. Bagaimana mungkin mahasiswa perguruan Tinggi Islam yang lulusannya diharap melahirkan dadi oleh masyarakat, justru melakukan aktivitas pendangkalan aqidah?
Apakah ini disebut toleransi beragama? Tindakan tersebut jelas merupakan toleransi yang salah kaprah dan melanggar batas-batas syariah Islam. Yang dilakukan para mahasiswa itu, sesungguhnya bukan bentuk toleransi yang diajarkan Islam, melainkan toleransi liberal yang diajarkan Barat, yang memang tidak mengenal syariah Islam sebagai batas-batasnya.
Mengutip kitab Naqd at Tasaamuh al Libraali (Kritik Terhadap Toleransi Liberal) karya Prof. Muhammad Ahmad Mufti yang menyebutkan toleransi liberal didasarkan pada tiga ide pokok yakni
·         Sekularisme : yaitu pemisahan agama dari kehidupan.
·         Relativisme : yaitu paham yang memandang kebenaran suatu agama itu relatif (tidak mutlak benar).
·         Pluralisme : yaitu paham yang memandang kebenaran semua agama yang bermacam-macam.
“Sesungguhnya ketiga ide pokok paham tersebut semuanya batil dan bertentangan dengan Islam!”


DEFINISI KATA TOLERANSI
Menurut Perez Zagorin, dalam bukunya How the Idea of Religious Toleration Came to the West, terbitan Princeton University Press (2003), yang pendapatnya banyak dikutip oleh ensiklopedia dan dijadikan sebagai sebagai definisi umum dari makna Toleransi :
Toleration is "the practice of deliberately allowing or permitting a thing of which one disapproves. One can meaningfully speak of tolerating—i.e., of allowing or permitting—only if one is in a position to disallow." It has also been defined as "to bear or endure" or "to nourish, sustain or preserve" or as "a fair, objective, and permissive attitude toward those whose opinions, beliefs, practices, racial or ethnic origins, etc., differ from one's own; freedom from bigotry" too. Toleration may signify "no more than forbearance and the permission given by the adherents of a dominant religion for other religions to exist, even though the latter are looked on with disapproval as inferior, mistaken, or harmful."
Toleransi adalah "praktek yang sengaja membiarkan atau mengizinkan hal yang satu tidak menyetujui. Satu bermakna dapat berbicara tentang toleransi. Memungkinkan atau mengizinkan hanya jika berada dalam posisi untuk melarang." Ini juga telah didefinisikan sebagai "menanggung atau bertahan" atau "untuk memelihara, mempertahankan atau melestarikan" atau sebagai "adil, obyektif, dan sikap permisif terhadap orang-orang yang pendapat, keyakinan, praktek, suku bangsa atau etnis, dll, berbeda dari sendiri, kebebasan dari fanatisme "juga. Toleransi mungkin menandakan "tidak lebih dari kesabaran dan izin yang diberikan oleh para penganut agama yang dominan bagi agama-agama lain untuk ada, meskipun yang terakhir ini memandang dengan ketidaksetujuan sebagai inferior, keliru, atau berbahaya."
Atau membiarkan orang lain berpendapat lain,melakukan hal yang tidak sependapat dengan kita, tanpa kita ganggu ataupun intimidasi. istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama, di mana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat menghormati keberadaan agama atau kepercayaan lainnya yang berbeda.

Dan Bagaimana Islam Memandang Toleransi Itu Sendiri?

Sesungguhnya Islam mempelopori sikap toleransi yang indah jauh-jauh hari sebelum aliran liberalisme dan pluralisme diorbitkan. Mengingat kisah-kisah heroik para pejuang Islam terdahulu seperti:
Umar bin Khatab yang menaklukkan Jerusalem dengan damai, memuliakan penduduk kota Jerusalem, memuliakan tawanan perang, menghormati keyakinan penduduk kota Jerusalem dengan tidak memaksakan Islam kepada mereka dan membiarkan rumah-rumah Ibadah agama lain tetap tegak.
Begitu juga dengan Sholahuddin Al Ayubi atau yang lebih populer di Eropa dengan nama Saladin. Ksatria Islam kedua yang kembali merebut tanah Palestina dengan menjunjung tinggi sikap toleransi kepada para penduduk Palestina yang non Muslim. Sholahudin Al Ayubi memasuki Palestina dengan membawa kedamaian. Sikap Saladin yang lemah lembut terhadap penduduk Kristen dan Yahudi di Palestina sontak membantah semua anggapan mereka terhadap kabar yang beredar akan kekejaman Sholahudin Al Ayubi.
Begitupula dengan penaklukkan Konstantinopel oleh Muhammad Al Fatih. Begitu masyhur namanya dipuji tak hanya oleh Muslim, tapi juga oleh pihak musuh pada masanya. Seorang Sultan yang turun langsung memimpin pasukan dalam penaklukan Konstantinopel, diakui kecerdikannya dan dikagumi kepemimpinannya.Meskipun sebelumnya di Andalusia terjadi pembantaian dan genosida terhadap umat Islam yang dilakukan oleh pasukan salib, hal itu tidaklah serta merta membuat Al Fatih menaruh dendam dan berniat akan melakukan hal yang sama kepada rakyat Konstantinopel. Saat Konstantinopel berhasil ditaklukkan, Al Fatih memasuki kota dengan damai, ia memerintahkan pasukannya untuk memasuki setiap pelosok kota dan melindungi penduduk tanpa ada kekerasan dan permusuhan.
Begitulah semestinya toleransi yang harus diterapkan oleh umat Islam. Namun kini banyak penerus generasi Islam yang salah kaprah memaknai toleransi dalam beragama. Batasan dan aturan yang sudah ada dibantah oleh mereka dengan teori-teori tak berdasar yang tak jelas dari mana sumbernya. Menghormati perbedaan bukanlah dengan memaksakan untuk menyamakan perbedaan itu. Menghargai agama lain tidak harus dengan mengucapkan selamat dan ikut merayakan hari raya agama lain, kita berbeda dan seharusnyalah kita menyadari perbedaan itu dengan baik dan benar. Cukuplah bagaimana sikap kesatria Khalifah Umar, Sultan Solahudin Al Ayubi, dan Sultan Muhammad Al Fatih menjadi contoh terbaik tentang bagaimana seharusnya sikap toleransi itu diterapkan. Mereka adalah beberapa contoh pemimpin dan panutan yang patut dicontoh oleh kita semua terutama umat Islam dalam hidup bertoleransi antar umat beragama

Bagaimana Islam mendefenisikan Toleransi?
Secara bahasa Arab akan kita temukan kata yang mirip dengan arti toleransi yakni:
"إختمال , تسمه " yang artinya sikap membiarkan, lapang dada (samuha - yasmuhu - samhan, wasimaahan, wasamaahatan, artinya: murah hati, suka berderma).
Jadi toleransi (tasamuh) beragama adalah menghargai, dengan sabar menghormati keyakinan atau kepercayaan seseorang atau kelompok lain. Kesalahan memahami arti toleransi dapat mengakibatkan"تلبسوا الحق بالباط " , mencampuradukan antara hak dan batil, suatu sikap yang sangat terlarang dilakukan seorang muslim, seperti halnya nikah antar agama yang dijadikan alasan adalah toleransi padahal itu merupakan sikap sinkretis yang dilarang oleh Islam.
Harus kita bedakan antara sikap toleran dengan sinkretisme. Sinkretisme adalah mem-benarkan semua keyakinan/agama. Hal ini dilarang oleh Islam karena termasuk Syirik.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ
"Sesungguhnya agama (yang diridhoi) di sisi Allah hanyalah Islam". (QS. Ali Imran: 19)
Sinkretisme mengandung "تلبسوا الحق بالباط " (mencampurkan yang haq dengan yang bathil). Sedangkan toleransi tetap memegang prinsip al-furqon bainal haq wal bathil (memilah/memisahkan antara haq dan bathil). Toleransi yang disalahpahami seringkali men-dorong pelakunya pada alam sinkretisme. Gambaran yang salah ini ternyata lebih do-minan dan bergaung hanya demi kepentingan kerukunan agama.
Dalam Islam toleransi bukanlah fatamorgana atau bersifat semu. Tapi memiliki dasar yang kuat dan tempat yang utama. Ada beberapa ayat di dalam Al-Qur'an yang bermuatan toleransi.
Konsep toleransi beragama dalam Islam

Ø  Toleransi dalam keyakinan dan menjalankan peribadahan

Dari pengertian diatas konsep terpenting dalam toleransi Islam adalah menolak sinkretisme.
Yakni Kebenaran itu hanya ada pada Islam dan selain Islam adalah bathil. Allah Ta'ala berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ
Sesungguhnya agama yang diridhoi disisi Allah hanyalah islam”.(Al-Imran: 19)   
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa yang mencari agama selain agama islam, maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) dari padanya, dan diakhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (Al-Imran: 85)
Kemudian Kebenaran yang telah diturunkan oleh Allah didunia ini adalah pasti dan tidak ada keraguan sedikitpun kepadanya. Dan kebenaran itu hanya ada di agama Allah Ta' ala. ”
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka janganlah engkau termasuk kalangan orang yang bimbang.”( Al- baqarah :147 )
Kemudian Kebenaran Islam telah sempurna sehingga tidak bersandar kepada apapun yang selainnya untuk kepastiaan kebenarannya, sebagaimana firman Allah Ta'ala:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
Pada hari ini Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku lengkapi nikmatku atas kalian dan Aku ridhoi islam sebagai agama kalian”. (Al-Maidah: 3)

Kaum mu'minin derajat kemuliaannya dan kehormatannya lebih tinggi daripada orang-orang kafir (non-muslim) dan lebih tinggi pula daripada orang-orang yang munafik (ahlul bid'ah) Allah menegaskan yang artinya
وَلا تَهِنُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الأعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
 “maka janganlan kalian bersikap lemah dan jangan pula bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman (Al-Imran: 139)
Kaum muslimin dilarang ridho atau bahkan ikut serta dalam segala bentuk peribadatan dan keyakinan orang-orang kafir dan musyrikin hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah Ta'ala dalam firmanNya:
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ  / لا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ / وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ / وَلا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ  / وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ / لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ/
Katakanlah: wahai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah dan kalian tidak menyembah apa yang aku sembah dan aku tidak menyembah apa yang kalian sembah dan kalian tidak menyembah apa yang aku sembah bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku”. (Al-Kafirun: 1-6).

Ø  Toleransi dalam Beragama/ hidup berdampingan dengan agama lain.

Yakni umat Islam dilarang untuk memaksa pemeluk agama lain untuk memeluk agama Islam secara paksa. Karena tidak ada paksaan dalam agama. Allah berfirman:

لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Tidak ada paksaan dalam masuk ke dalam agama Islam, karena telah jelas antara petunjuk dari kesesatan. Maka barangsiapa yang ingkar kepada thoghut dan beriman kepada Alloh sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang kuat yang tidak akan pernah putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” ( Qs. Al-Baqoroh : 256 )
فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُسَيْطِرٍ

Berilah peringatan, karena engkau ( Muhammad ) hanyalah seorang pemberi peringatan, engkau bukan orang yang memaksa mereka.” ( Qs. Al-Ghosyiyah : 21 -22 )
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat tersebut menjelaskan: Janganlah memaksa seorangpun untuk masuk Islam. Islam adalah agama yang jelas dan gamblang tentang semua ajaran dan bukti kebenarannya, sehingga tidak perlu memaksakan seseorang untuk masuk ke dalamnya. Orang yang mendapat hidayah, terbuka, lapang dadanya, dan terang mata hatinya pasti ia akan masuk Islam dengan bukti yang kuat. Dan barangsiapa yang buta mata hatinya, tertutup penglihatan dan pendengarannya maka tidak layak baginya masuk Islam dengan paksa.
Ibnu Abbas mengatakan "ayat laa ikraha fid din" diturunkan berkenaan dengan seorang dari suku Bani Salim bin Auf bernama Al-Husaini bermaksud memaksa kedua anaknya yang masih kristen. Hal ini disampaikan pada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan ayat tersebut .
Demikian pula Ibnu Abi Hatim meriwayatkan telah berkata bapakku dari Amr bin Auf, dari Syuraih, dari Abi Hilal, dari Asbaq ia berkata, "Aku dahulu adalah abid (hamba sahaya) Umar bin Khaththab dan beragama nasrani. Umar menawarkan Islam kepadaku dan aku menolak. Lalu Umar berkata: laa ikraha fid din, wahai Asbaq jika anda masuk Islam kami dapat minta bantuanmu dalam urusan-urusan muslimin."
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapatlah kita tarik beberapa kesimpulan
v  Bahwa toleransi dalam Islam adalah toleransi sebatas menghargai dan menghormat pemeluk agama lain, tidak sampai pada sinkretisme.
v  Islam memiliki prinsip-prinsip dasar dalam toleransi ini, yakni menyatakan bahwa satu-satunya agama yang benar adalah Islam, Islam adalah agama yang sempurna, dan Islam dengan tegas menyatakn bahwa selain dari Islam tidak benar, atau salah. Dan sebagainya.
v  Toleransi Islam dalam hal beragama adalah tidak adanya paksaan untuk memeluk agama Islam.
v  Kemudian toleransi Islam terhadap hidup bermasyarakat dan bernegara, yakni islam membolekan hidup berdampingan dalam hal bermasyakat bernegara selama mereka tidak memusuhi dan tidak memerangi umat Islam. Dalam hal ini umat Islam diperintahkan berbuat baik dan menjaga hak-hak mereka dan sebagainya.