Rabu, 01 November 2017

Budaya Nasi Tumpeng Bagi Masyarakat di pulau Jawa, Bali dan Madura






 Budaya Nasi Tumpeng Bagi Masyarakat di pulau Jawa, Bali dan Madura

Oleh : Muhammad Zul Fadhli Bin Rusli

Seperti yang kita ketahui bahwa mayoritas penduduk di Negara ini adalah penganut Agama Islam. Dan tidak asing bagi kita semua mengenai warisan budaya Nusantara yaitu Nasi Tumpeng. Jika kita perhatikan, hampir seluruh masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa, telah memberikan  perhatian dan kedudukan yang khusus dan istimewa terhadap nasi tumpeng ini. Dan hampir pada setiap acara yang dilakukan baik dari kalangan atas, menengah maupun dilingkungan masyarakat awam, baik dilingkungan organisasi, dilingkungan instansi pemerintah, perusahaan atau secara perorangan  tidak pernah ketinggalan menyediakan yang namanya nasi tumpeng.
Nasi tumpeng telah menjadi ikon dalam berbagai acara yang berkaitan dengan hajatan, kenduri, syukuran, ulang tahun, berbagai macam acara peletakan batu pertama atau peresmian proyek-proyek yang biasanya ditandai dengan pemotongan nasi tumpeng. Begitu pula pada dilakukannya upacara adat baik berupa pesta sedekah laut dan sedekah bumi. Pihak penyelenggara acara merasa bahwa tidaklah lengkap sebuah acara apabila tidak tersedia nasi tumpeng. Sehingga banyak orang selalu berusaha menyediakan nasi tumpeng sebagai hal yang utama.[1]
Tidak dilupakannya menyediakan nasi tumpeng dalam berbagai ragam acara, dikarenakan nasi tumpeng di kalangan masyarakat tertentu dianggap mempunyai keutamaan dan mengandung berkah. Karenanya mereka beranggapan bahwa dengan menyediakan nasi tumpeng ini, diharapkan acara yang akan diselenggarakan memberikan kebaikan bagi mereka.
Selain mengandung keutamaan berupa keberkahan, disediakannya nasi tumpeng dalam berbagai acara adalah dalam rangka mewujudkan rasa syukur kepada yang Maha Pencipta atas segala macam nikmat yang diberikan kepada manusia. Sebagai rasa terimakasih atas segala pemberian dari Maha Pencipta tersebut maka oleh manusia dibuktikan dengan menyediakan nasi tumpeng.

Filosofi Tumpeng : Sejarah dan Tradisi
Masyarakat di pulau Jawa, Bali dan Madura memiliki kebiasaan membuat tumpeng untuk kenduri atau merayakan suatu peristiwa penting. Meskipun demikian kini hampir seluruh rakyat Indonesia mengenal tumpeng. Falsafah tumpeng berkait erat dengan kondisi geografis Indonesia, terutama pulau Jawa, yang dipenuhi jajaran gunung berapi. Tumpeng berasal dari tradisi purba masyarakat Indonesia yang memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam para hyang, atau arwah leluhur (nenek moyang). Setelah masyarakat Jawa menganut dan dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu, nasi yang dicetak berbentuk kerucut dimaksudkan untuk meniru bentuk gunung suci Mahameru, tempat bersemayam dewa-dewi.[2]
Meskipun tradisi tumpeng telah ada jauh sebelum masuknya Islam ke pulau Jawa, tradisi tumpeng pada perkembangannya diadopsi dan dikaitkan dengan filosofi Islam Jawa, dan dianggap sebagai pesan leluhur mengenai permohonan kepada Yang Maha Kuasa. Dalam tradisi kenduri Slametan pada masyarakat Islam tradisional Jawa, tumpeng disajikan dengan sebelumnya digelar pengajian Al Quran.
Menurut tradisi Islam Jawa, "Tumpeng" merupakan akronim dalam bahasa Jawa : yen metu kudu sing mempeng (bila keluar harus dengan sungguh-sungguh). Lengkapnya, ada satu unit makanan lagi namanya "Buceng", dibuat dari ketan; akronim dari: yen mlebu kudu sing kenceng (bila masuk harus dengan sungguh-sungguh) Sedangkan lauk-pauknya tumpeng, berjumlah 7 macam, angka 7 bahasa Jawa pitu, maksudnya Pitulungan (pertolongan). Tiga kalimat akronim itu, berasal dari sebuah doa dalam (Surah al Isra' ayat 80): "Ya Tuhan, masukanlah aku dengan sebenar-benarnya masuk dan keluarkanlah aku dengan sebenar-benarnya keluar serta jadikanlah dari-Mu kekuasaan bagiku yang memberikan pertolongan". Menurut beberapa ahli tafsir, doa ini dibaca Nabi Muhammad SAW waktu akan hijrah keluar dari kota Mekah menuju kota Madinah. Maka bila seseorang berhajatan dengan menyajikan Tumpeng, maksudnya adalah memohon pertolongan kepada Yang Maha Pencipta agar kita dapat memperoleh kebaikan dan terhindar dari keburukan, serta memperoleh kemuliaan yang memberikan pertolongan. Dan itu semua akan kita dapatkan bila kita mau berusaha dengan sungguh-sungguh.[3]
Tumpeng merupakan bagian penting dalam perayaan kenduri tradisional. Perayaan atau kenduri adalah wujud rasa syukur dan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa atas melimpahnya hasil panen dan berkah lainnya. Karena memiliki nilai rasa syukur dan perayaan, hingga kini tumpeng sering kali berfungsi menjadi kue ulang tahun dalam perayaan pesta ulang tahun.[4]
Dalam kenduri, syukuran, atau slametan, setelah pembacaan doa, tradisi tak tertulis menganjurkan pucuk tumpeng dipotong dan diberikan kepada orang yang paling penting, paling terhormat, paling dimuliakan, atau yang paling dituakan di antara orang-orang yang hadir. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang tersebut. Kemudian semua orang yang hadir diundang untuk bersama-sama menikmati tumpeng tersebut. Adapun tetangga terdekat yang berhalangan hadir, biasanya tetap diberikan bagian, yang dititipkan pada tetangga dekatnya. Sebagian dari nasi tumpeng disantap di tempat dengan tidak mengunakan sendok (muluk), sedangkan sebagian sisanya yang lain, dibungkus untuk dibawa pulang. Jika tidak tersedia bungkusan, maka biasanya tuan rumah meminjamkan piring atau wadah lain untuk dibawa pulang nasi kenduri, yang oleh masyarakat disebut sebagai ‘‘nasi berkat’’.[5]
Disebut sebagai ‘‘nasi berkat’’, karena memiliki dua konotasi makna dan tujuan. Pertama,  bahwa nasi tumpeng tersebut dihidangkan setelah ada ritual dan doa, sehingga diharapkan keberkahan dari Allah diberikan kepada mereka yang ikut berdoa, atau bagi mereka yang menyantap hidangan tersebut. Kedua, bahwa berkat berasal dari bahasa Arab ‘‘barkah’’ yang maknanya bertambah. Hal ini sesuai dengan ketentuan Firman Allah, bahwa barang  siapa yang bersyukur akan ditambah nikmatnya. Sedangkan kenduri adalah media tasyakur tersebut, sehingga ada harapan Allah memberikan tambahan keberkahan dan pahala serta kesejahteraan bagi tuan rumah dan yang diundang.
Ada beberapa macam tumpeng ini, di antaranya sebagai berikut : (1). Tumpeng Robyong. Tumpeng ini biasa disajikan pada upacara siraman dalam pernikahan adat Jawa. Tumpeng ini diletakkan di dalam bakul dengan berbagai sayuran. Di bagian puncak tumpeng ini diletakkan telur ayam, terasi, bawang merah dan cabai. (2). Tumpeng Nujuh Bulan. Tumpeng ini digunakan pada syukuran kehamilan tujuh bulan, dan terbuat dari nasi putih. Selain satu kerucut besar di tengah, tumpeng ini juga dikelilingi enam buah tumpeng kecil lainnya. Biasa disajikan di atas tampah yang dialasi daun pisang. (3). Tumpeng Pungkur. Digunakan pada saat kematian seorang wanita atau pria yang masih lajang. Dibuat dari nasi putih yang disajikan dengan lauk-pauk sayuran. Tumpeng ini kemudian dipotong vertikal dan diletakkan saling membelakangi. (4). Tumpeng Putih. Warna putih pada nasi putih menggambarkan kesucian dalam adat Jawa. Digunakkan untuk acara sakral. (5). Tumpeng Nasi Kuning. Warna kuning menggambarkan kekayaan dan moral yang luhur. Digunakan untuk syukuran acara-acara gembira, seperti kelahiran, pernikahan, tunangan, dan sebagainya. (6). Tumpeng Nasi Uduk. Disebut juga tumpeng rasul (metua dalam kang lempeng = lewatilah jalan yang lurus mengikuti ajaran Rasul Allah), karena memiliki nilai simbolis hidup dengan mengikuti jalan yang lurus sesuai ajaran Rasul, dengan ciri khas adalah ingkung (inggala njungkung atau bersujud), yakni beribadah kepada Allah. Disebut nasi uduk, yang sebenarnya adalah nasi wudlu’,karena selama proses memasaknya harus dalam keadaan suci dengan berwudlu’ terlebih dahulu.[6]
Dan dari sini dapat kita ketahui bahwa nasi tumpeng berasal dari budaya agama Hindu yang mempercayai tumpeng sebagai gunung suci tempat bersemayam dewa-dewi. Dan setelah masuknya Islam ke pulau Jawa, tradisi tumpeng mengalami perkembangan dan diadopsi dan dikaitkan dengan filosofi Islam Jawa, dan dianggap sebagai pesan leluhur mengenai permohonan kepada Yang Maha Kuasa. Adapun bila tumpeng ini dibuat dalam rangka acara-acara atau ritual-ritual di atas, maka Islam tidak membenarkannya. Karena mengandungi unsur-unsur Syirik dan Bid’ah dan tidak bersesuaian dengan ajaran Islam itu sendiri. Namun kalau sekedar membuat tumpeng sebagai seni memasak tanpa disertai acara dan ritual tersebut, maka tidaklah mengapa.











Daftar Pustaka

Faizah, Efendi, Muchin, Lalu, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2006) cet.I.
Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XI/1428H/2008. (Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta).
PISS-KTB, Ebook Kumpulan Tanya Jawab : Hasil Bahtsul Masail dan Tanya Jawab Agama Islam (Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah- KTB, 2013)
Sholikhin, Muhammad, Ritual Dan Tradisi Islam Jawa, (Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2010) cet.I.




[1] Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XI/1428H/2008. (Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta).
[2] PISS-KTB, Ebook Kumpulan Tanya Jawab : Hasil Bahtsul Masail dan Tanya Jawab Agama Islam (Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah- KTB, 2013), hlm.381.
[3] Ibid, hlm. 382.
[4] Ibid, hlm.383.
[5] Sholikhin, Muhammad, Ritual Dan Tradisi Islam Jawa, (Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2010) cet.I, hlm.58.
[6] Faizah, Efendi, Muchin, Lalu, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2006) cet.I.hlm. xiv.