Rabu, 01 November 2017

Budaya Nasi Tumpeng Bagi Masyarakat di pulau Jawa, Bali dan Madura






 Budaya Nasi Tumpeng Bagi Masyarakat di pulau Jawa, Bali dan Madura

Oleh : Muhammad Zul Fadhli Bin Rusli

Seperti yang kita ketahui bahwa mayoritas penduduk di Negara ini adalah penganut Agama Islam. Dan tidak asing bagi kita semua mengenai warisan budaya Nusantara yaitu Nasi Tumpeng. Jika kita perhatikan, hampir seluruh masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa, telah memberikan  perhatian dan kedudukan yang khusus dan istimewa terhadap nasi tumpeng ini. Dan hampir pada setiap acara yang dilakukan baik dari kalangan atas, menengah maupun dilingkungan masyarakat awam, baik dilingkungan organisasi, dilingkungan instansi pemerintah, perusahaan atau secara perorangan  tidak pernah ketinggalan menyediakan yang namanya nasi tumpeng.
Nasi tumpeng telah menjadi ikon dalam berbagai acara yang berkaitan dengan hajatan, kenduri, syukuran, ulang tahun, berbagai macam acara peletakan batu pertama atau peresmian proyek-proyek yang biasanya ditandai dengan pemotongan nasi tumpeng. Begitu pula pada dilakukannya upacara adat baik berupa pesta sedekah laut dan sedekah bumi. Pihak penyelenggara acara merasa bahwa tidaklah lengkap sebuah acara apabila tidak tersedia nasi tumpeng. Sehingga banyak orang selalu berusaha menyediakan nasi tumpeng sebagai hal yang utama.[1]
Tidak dilupakannya menyediakan nasi tumpeng dalam berbagai ragam acara, dikarenakan nasi tumpeng di kalangan masyarakat tertentu dianggap mempunyai keutamaan dan mengandung berkah. Karenanya mereka beranggapan bahwa dengan menyediakan nasi tumpeng ini, diharapkan acara yang akan diselenggarakan memberikan kebaikan bagi mereka.
Selain mengandung keutamaan berupa keberkahan, disediakannya nasi tumpeng dalam berbagai acara adalah dalam rangka mewujudkan rasa syukur kepada yang Maha Pencipta atas segala macam nikmat yang diberikan kepada manusia. Sebagai rasa terimakasih atas segala pemberian dari Maha Pencipta tersebut maka oleh manusia dibuktikan dengan menyediakan nasi tumpeng.

Filosofi Tumpeng : Sejarah dan Tradisi
Masyarakat di pulau Jawa, Bali dan Madura memiliki kebiasaan membuat tumpeng untuk kenduri atau merayakan suatu peristiwa penting. Meskipun demikian kini hampir seluruh rakyat Indonesia mengenal tumpeng. Falsafah tumpeng berkait erat dengan kondisi geografis Indonesia, terutama pulau Jawa, yang dipenuhi jajaran gunung berapi. Tumpeng berasal dari tradisi purba masyarakat Indonesia yang memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam para hyang, atau arwah leluhur (nenek moyang). Setelah masyarakat Jawa menganut dan dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu, nasi yang dicetak berbentuk kerucut dimaksudkan untuk meniru bentuk gunung suci Mahameru, tempat bersemayam dewa-dewi.[2]
Meskipun tradisi tumpeng telah ada jauh sebelum masuknya Islam ke pulau Jawa, tradisi tumpeng pada perkembangannya diadopsi dan dikaitkan dengan filosofi Islam Jawa, dan dianggap sebagai pesan leluhur mengenai permohonan kepada Yang Maha Kuasa. Dalam tradisi kenduri Slametan pada masyarakat Islam tradisional Jawa, tumpeng disajikan dengan sebelumnya digelar pengajian Al Quran.
Menurut tradisi Islam Jawa, "Tumpeng" merupakan akronim dalam bahasa Jawa : yen metu kudu sing mempeng (bila keluar harus dengan sungguh-sungguh). Lengkapnya, ada satu unit makanan lagi namanya "Buceng", dibuat dari ketan; akronim dari: yen mlebu kudu sing kenceng (bila masuk harus dengan sungguh-sungguh) Sedangkan lauk-pauknya tumpeng, berjumlah 7 macam, angka 7 bahasa Jawa pitu, maksudnya Pitulungan (pertolongan). Tiga kalimat akronim itu, berasal dari sebuah doa dalam (Surah al Isra' ayat 80): "Ya Tuhan, masukanlah aku dengan sebenar-benarnya masuk dan keluarkanlah aku dengan sebenar-benarnya keluar serta jadikanlah dari-Mu kekuasaan bagiku yang memberikan pertolongan". Menurut beberapa ahli tafsir, doa ini dibaca Nabi Muhammad SAW waktu akan hijrah keluar dari kota Mekah menuju kota Madinah. Maka bila seseorang berhajatan dengan menyajikan Tumpeng, maksudnya adalah memohon pertolongan kepada Yang Maha Pencipta agar kita dapat memperoleh kebaikan dan terhindar dari keburukan, serta memperoleh kemuliaan yang memberikan pertolongan. Dan itu semua akan kita dapatkan bila kita mau berusaha dengan sungguh-sungguh.[3]
Tumpeng merupakan bagian penting dalam perayaan kenduri tradisional. Perayaan atau kenduri adalah wujud rasa syukur dan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa atas melimpahnya hasil panen dan berkah lainnya. Karena memiliki nilai rasa syukur dan perayaan, hingga kini tumpeng sering kali berfungsi menjadi kue ulang tahun dalam perayaan pesta ulang tahun.[4]
Dalam kenduri, syukuran, atau slametan, setelah pembacaan doa, tradisi tak tertulis menganjurkan pucuk tumpeng dipotong dan diberikan kepada orang yang paling penting, paling terhormat, paling dimuliakan, atau yang paling dituakan di antara orang-orang yang hadir. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang tersebut. Kemudian semua orang yang hadir diundang untuk bersama-sama menikmati tumpeng tersebut. Adapun tetangga terdekat yang berhalangan hadir, biasanya tetap diberikan bagian, yang dititipkan pada tetangga dekatnya. Sebagian dari nasi tumpeng disantap di tempat dengan tidak mengunakan sendok (muluk), sedangkan sebagian sisanya yang lain, dibungkus untuk dibawa pulang. Jika tidak tersedia bungkusan, maka biasanya tuan rumah meminjamkan piring atau wadah lain untuk dibawa pulang nasi kenduri, yang oleh masyarakat disebut sebagai ‘‘nasi berkat’’.[5]
Disebut sebagai ‘‘nasi berkat’’, karena memiliki dua konotasi makna dan tujuan. Pertama,  bahwa nasi tumpeng tersebut dihidangkan setelah ada ritual dan doa, sehingga diharapkan keberkahan dari Allah diberikan kepada mereka yang ikut berdoa, atau bagi mereka yang menyantap hidangan tersebut. Kedua, bahwa berkat berasal dari bahasa Arab ‘‘barkah’’ yang maknanya bertambah. Hal ini sesuai dengan ketentuan Firman Allah, bahwa barang  siapa yang bersyukur akan ditambah nikmatnya. Sedangkan kenduri adalah media tasyakur tersebut, sehingga ada harapan Allah memberikan tambahan keberkahan dan pahala serta kesejahteraan bagi tuan rumah dan yang diundang.
Ada beberapa macam tumpeng ini, di antaranya sebagai berikut : (1). Tumpeng Robyong. Tumpeng ini biasa disajikan pada upacara siraman dalam pernikahan adat Jawa. Tumpeng ini diletakkan di dalam bakul dengan berbagai sayuran. Di bagian puncak tumpeng ini diletakkan telur ayam, terasi, bawang merah dan cabai. (2). Tumpeng Nujuh Bulan. Tumpeng ini digunakan pada syukuran kehamilan tujuh bulan, dan terbuat dari nasi putih. Selain satu kerucut besar di tengah, tumpeng ini juga dikelilingi enam buah tumpeng kecil lainnya. Biasa disajikan di atas tampah yang dialasi daun pisang. (3). Tumpeng Pungkur. Digunakan pada saat kematian seorang wanita atau pria yang masih lajang. Dibuat dari nasi putih yang disajikan dengan lauk-pauk sayuran. Tumpeng ini kemudian dipotong vertikal dan diletakkan saling membelakangi. (4). Tumpeng Putih. Warna putih pada nasi putih menggambarkan kesucian dalam adat Jawa. Digunakkan untuk acara sakral. (5). Tumpeng Nasi Kuning. Warna kuning menggambarkan kekayaan dan moral yang luhur. Digunakan untuk syukuran acara-acara gembira, seperti kelahiran, pernikahan, tunangan, dan sebagainya. (6). Tumpeng Nasi Uduk. Disebut juga tumpeng rasul (metua dalam kang lempeng = lewatilah jalan yang lurus mengikuti ajaran Rasul Allah), karena memiliki nilai simbolis hidup dengan mengikuti jalan yang lurus sesuai ajaran Rasul, dengan ciri khas adalah ingkung (inggala njungkung atau bersujud), yakni beribadah kepada Allah. Disebut nasi uduk, yang sebenarnya adalah nasi wudlu’,karena selama proses memasaknya harus dalam keadaan suci dengan berwudlu’ terlebih dahulu.[6]
Dan dari sini dapat kita ketahui bahwa nasi tumpeng berasal dari budaya agama Hindu yang mempercayai tumpeng sebagai gunung suci tempat bersemayam dewa-dewi. Dan setelah masuknya Islam ke pulau Jawa, tradisi tumpeng mengalami perkembangan dan diadopsi dan dikaitkan dengan filosofi Islam Jawa, dan dianggap sebagai pesan leluhur mengenai permohonan kepada Yang Maha Kuasa. Adapun bila tumpeng ini dibuat dalam rangka acara-acara atau ritual-ritual di atas, maka Islam tidak membenarkannya. Karena mengandungi unsur-unsur Syirik dan Bid’ah dan tidak bersesuaian dengan ajaran Islam itu sendiri. Namun kalau sekedar membuat tumpeng sebagai seni memasak tanpa disertai acara dan ritual tersebut, maka tidaklah mengapa.











Daftar Pustaka

Faizah, Efendi, Muchin, Lalu, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2006) cet.I.
Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XI/1428H/2008. (Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta).
PISS-KTB, Ebook Kumpulan Tanya Jawab : Hasil Bahtsul Masail dan Tanya Jawab Agama Islam (Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah- KTB, 2013)
Sholikhin, Muhammad, Ritual Dan Tradisi Islam Jawa, (Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2010) cet.I.




[1] Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XI/1428H/2008. (Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta).
[2] PISS-KTB, Ebook Kumpulan Tanya Jawab : Hasil Bahtsul Masail dan Tanya Jawab Agama Islam (Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah- KTB, 2013), hlm.381.
[3] Ibid, hlm. 382.
[4] Ibid, hlm.383.
[5] Sholikhin, Muhammad, Ritual Dan Tradisi Islam Jawa, (Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2010) cet.I, hlm.58.
[6] Faizah, Efendi, Muchin, Lalu, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2006) cet.I.hlm. xiv.

Rabu, 28 Desember 2016

Menyelami Makna Dari Sebuah Kata Toleransi





Menyelami Makna Dari Sebuah Kata Toleransi

Saban hari, silih berganti, tahun dan hari. Kita sering kali  mendengarkan kata toleransi, apalagi mendekati sesebuah perayaan maupun peringatan tertentu. Dan itu tidak asing lagi bagi warga negara berpenduduk beragam seperti Indonesia, yang terdiri dari berbagai macam suku, ras, etnik dan agama tentulah sangat diperlukan sikap toleransi demi terciptanya kerukunan hidup bersama.
Namun melihat fenomena yang tengah berlaku saat ini, banyak orang baik itu yang Muslim maupun non-Muslim telah salah dalam memaknai toleransi sehingga melanggar aturan serta batas-batas bertoleransi dalam beragama itu sendiri.
Seperti yang terjadi setahun silam. Kehadian mahasiswa dalam Misa Natal di gereja merupakan bentuk partisipasi (musyarakah) bagi agama lain.
 Seperti yang dilansir oleh m.hidayatullah.com-DESEMBER 2015 lalu publik kembali dikejutkan oleh kelakuan mahasiswa PTAIN. Kali ini belasan Mahasiswa UIN DIY ikut merayakan Misa malam Natal di dalam sebuah gereja di Solo yang dipimpin oleh Pendeta Wahyu Nugroho.
“Pak Wahyu adalah dosen kami di Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam. Beliau mengajar mata kuliah teks suci Al-Quran dan kitab agama lain. Kami ingin mengucapkan selamat Natal saja dengan datang ke sini,” beber Taufik, salah seorang mahasiswa yang turut hadir dalam perayaan tersebut. Para jemaat gereja menyambut mereka dengan hangat, bahkan usai acara, ada beberapa yang meminta foto bersama mahasiswa/i UIN tersebut dengan latar belakang pohon Natal. Meski sang rektor sudah meralat acaranya sebenarnya, namun banyak kalangan mengkritik tindakan ini. Bagaimana mungkin mahasiswa perguruan Tinggi Islam yang lulusannya diharap melahirkan dadi oleh masyarakat, justru melakukan aktivitas pendangkalan aqidah?
Apakah ini disebut toleransi beragama? Tindakan tersebut jelas merupakan toleransi yang salah kaprah dan melanggar batas-batas syariah Islam. Yang dilakukan para mahasiswa itu, sesungguhnya bukan bentuk toleransi yang diajarkan Islam, melainkan toleransi liberal yang diajarkan Barat, yang memang tidak mengenal syariah Islam sebagai batas-batasnya.
Mengutip kitab Naqd at Tasaamuh al Libraali (Kritik Terhadap Toleransi Liberal) karya Prof. Muhammad Ahmad Mufti yang menyebutkan toleransi liberal didasarkan pada tiga ide pokok yakni
·         Sekularisme : yaitu pemisahan agama dari kehidupan.
·         Relativisme : yaitu paham yang memandang kebenaran suatu agama itu relatif (tidak mutlak benar).
·         Pluralisme : yaitu paham yang memandang kebenaran semua agama yang bermacam-macam.
“Sesungguhnya ketiga ide pokok paham tersebut semuanya batil dan bertentangan dengan Islam!”


DEFINISI KATA TOLERANSI
Menurut Perez Zagorin, dalam bukunya How the Idea of Religious Toleration Came to the West, terbitan Princeton University Press (2003), yang pendapatnya banyak dikutip oleh ensiklopedia dan dijadikan sebagai sebagai definisi umum dari makna Toleransi :
Toleration is "the practice of deliberately allowing or permitting a thing of which one disapproves. One can meaningfully speak of tolerating—i.e., of allowing or permitting—only if one is in a position to disallow." It has also been defined as "to bear or endure" or "to nourish, sustain or preserve" or as "a fair, objective, and permissive attitude toward those whose opinions, beliefs, practices, racial or ethnic origins, etc., differ from one's own; freedom from bigotry" too. Toleration may signify "no more than forbearance and the permission given by the adherents of a dominant religion for other religions to exist, even though the latter are looked on with disapproval as inferior, mistaken, or harmful."
Toleransi adalah "praktek yang sengaja membiarkan atau mengizinkan hal yang satu tidak menyetujui. Satu bermakna dapat berbicara tentang toleransi. Memungkinkan atau mengizinkan hanya jika berada dalam posisi untuk melarang." Ini juga telah didefinisikan sebagai "menanggung atau bertahan" atau "untuk memelihara, mempertahankan atau melestarikan" atau sebagai "adil, obyektif, dan sikap permisif terhadap orang-orang yang pendapat, keyakinan, praktek, suku bangsa atau etnis, dll, berbeda dari sendiri, kebebasan dari fanatisme "juga. Toleransi mungkin menandakan "tidak lebih dari kesabaran dan izin yang diberikan oleh para penganut agama yang dominan bagi agama-agama lain untuk ada, meskipun yang terakhir ini memandang dengan ketidaksetujuan sebagai inferior, keliru, atau berbahaya."
Atau membiarkan orang lain berpendapat lain,melakukan hal yang tidak sependapat dengan kita, tanpa kita ganggu ataupun intimidasi. istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama, di mana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat menghormati keberadaan agama atau kepercayaan lainnya yang berbeda.

Dan Bagaimana Islam Memandang Toleransi Itu Sendiri?

Sesungguhnya Islam mempelopori sikap toleransi yang indah jauh-jauh hari sebelum aliran liberalisme dan pluralisme diorbitkan. Mengingat kisah-kisah heroik para pejuang Islam terdahulu seperti:
Umar bin Khatab yang menaklukkan Jerusalem dengan damai, memuliakan penduduk kota Jerusalem, memuliakan tawanan perang, menghormati keyakinan penduduk kota Jerusalem dengan tidak memaksakan Islam kepada mereka dan membiarkan rumah-rumah Ibadah agama lain tetap tegak.
Begitu juga dengan Sholahuddin Al Ayubi atau yang lebih populer di Eropa dengan nama Saladin. Ksatria Islam kedua yang kembali merebut tanah Palestina dengan menjunjung tinggi sikap toleransi kepada para penduduk Palestina yang non Muslim. Sholahudin Al Ayubi memasuki Palestina dengan membawa kedamaian. Sikap Saladin yang lemah lembut terhadap penduduk Kristen dan Yahudi di Palestina sontak membantah semua anggapan mereka terhadap kabar yang beredar akan kekejaman Sholahudin Al Ayubi.
Begitupula dengan penaklukkan Konstantinopel oleh Muhammad Al Fatih. Begitu masyhur namanya dipuji tak hanya oleh Muslim, tapi juga oleh pihak musuh pada masanya. Seorang Sultan yang turun langsung memimpin pasukan dalam penaklukan Konstantinopel, diakui kecerdikannya dan dikagumi kepemimpinannya.Meskipun sebelumnya di Andalusia terjadi pembantaian dan genosida terhadap umat Islam yang dilakukan oleh pasukan salib, hal itu tidaklah serta merta membuat Al Fatih menaruh dendam dan berniat akan melakukan hal yang sama kepada rakyat Konstantinopel. Saat Konstantinopel berhasil ditaklukkan, Al Fatih memasuki kota dengan damai, ia memerintahkan pasukannya untuk memasuki setiap pelosok kota dan melindungi penduduk tanpa ada kekerasan dan permusuhan.
Begitulah semestinya toleransi yang harus diterapkan oleh umat Islam. Namun kini banyak penerus generasi Islam yang salah kaprah memaknai toleransi dalam beragama. Batasan dan aturan yang sudah ada dibantah oleh mereka dengan teori-teori tak berdasar yang tak jelas dari mana sumbernya. Menghormati perbedaan bukanlah dengan memaksakan untuk menyamakan perbedaan itu. Menghargai agama lain tidak harus dengan mengucapkan selamat dan ikut merayakan hari raya agama lain, kita berbeda dan seharusnyalah kita menyadari perbedaan itu dengan baik dan benar. Cukuplah bagaimana sikap kesatria Khalifah Umar, Sultan Solahudin Al Ayubi, dan Sultan Muhammad Al Fatih menjadi contoh terbaik tentang bagaimana seharusnya sikap toleransi itu diterapkan. Mereka adalah beberapa contoh pemimpin dan panutan yang patut dicontoh oleh kita semua terutama umat Islam dalam hidup bertoleransi antar umat beragama

Bagaimana Islam mendefenisikan Toleransi?
Secara bahasa Arab akan kita temukan kata yang mirip dengan arti toleransi yakni:
"إختمال , تسمه " yang artinya sikap membiarkan, lapang dada (samuha - yasmuhu - samhan, wasimaahan, wasamaahatan, artinya: murah hati, suka berderma).
Jadi toleransi (tasamuh) beragama adalah menghargai, dengan sabar menghormati keyakinan atau kepercayaan seseorang atau kelompok lain. Kesalahan memahami arti toleransi dapat mengakibatkan"تلبسوا الحق بالباط " , mencampuradukan antara hak dan batil, suatu sikap yang sangat terlarang dilakukan seorang muslim, seperti halnya nikah antar agama yang dijadikan alasan adalah toleransi padahal itu merupakan sikap sinkretis yang dilarang oleh Islam.
Harus kita bedakan antara sikap toleran dengan sinkretisme. Sinkretisme adalah mem-benarkan semua keyakinan/agama. Hal ini dilarang oleh Islam karena termasuk Syirik.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ
"Sesungguhnya agama (yang diridhoi) di sisi Allah hanyalah Islam". (QS. Ali Imran: 19)
Sinkretisme mengandung "تلبسوا الحق بالباط " (mencampurkan yang haq dengan yang bathil). Sedangkan toleransi tetap memegang prinsip al-furqon bainal haq wal bathil (memilah/memisahkan antara haq dan bathil). Toleransi yang disalahpahami seringkali men-dorong pelakunya pada alam sinkretisme. Gambaran yang salah ini ternyata lebih do-minan dan bergaung hanya demi kepentingan kerukunan agama.
Dalam Islam toleransi bukanlah fatamorgana atau bersifat semu. Tapi memiliki dasar yang kuat dan tempat yang utama. Ada beberapa ayat di dalam Al-Qur'an yang bermuatan toleransi.
Konsep toleransi beragama dalam Islam

Ø  Toleransi dalam keyakinan dan menjalankan peribadahan

Dari pengertian diatas konsep terpenting dalam toleransi Islam adalah menolak sinkretisme.
Yakni Kebenaran itu hanya ada pada Islam dan selain Islam adalah bathil. Allah Ta'ala berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ
Sesungguhnya agama yang diridhoi disisi Allah hanyalah islam”.(Al-Imran: 19)   
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa yang mencari agama selain agama islam, maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) dari padanya, dan diakhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (Al-Imran: 85)
Kemudian Kebenaran yang telah diturunkan oleh Allah didunia ini adalah pasti dan tidak ada keraguan sedikitpun kepadanya. Dan kebenaran itu hanya ada di agama Allah Ta' ala. ”
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka janganlah engkau termasuk kalangan orang yang bimbang.”( Al- baqarah :147 )
Kemudian Kebenaran Islam telah sempurna sehingga tidak bersandar kepada apapun yang selainnya untuk kepastiaan kebenarannya, sebagaimana firman Allah Ta'ala:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
Pada hari ini Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku lengkapi nikmatku atas kalian dan Aku ridhoi islam sebagai agama kalian”. (Al-Maidah: 3)

Kaum mu'minin derajat kemuliaannya dan kehormatannya lebih tinggi daripada orang-orang kafir (non-muslim) dan lebih tinggi pula daripada orang-orang yang munafik (ahlul bid'ah) Allah menegaskan yang artinya
وَلا تَهِنُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الأعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
 “maka janganlan kalian bersikap lemah dan jangan pula bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman (Al-Imran: 139)
Kaum muslimin dilarang ridho atau bahkan ikut serta dalam segala bentuk peribadatan dan keyakinan orang-orang kafir dan musyrikin hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah Ta'ala dalam firmanNya:
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ  / لا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ / وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ / وَلا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ  / وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ / لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ/
Katakanlah: wahai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah dan kalian tidak menyembah apa yang aku sembah dan aku tidak menyembah apa yang kalian sembah dan kalian tidak menyembah apa yang aku sembah bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku”. (Al-Kafirun: 1-6).

Ø  Toleransi dalam Beragama/ hidup berdampingan dengan agama lain.

Yakni umat Islam dilarang untuk memaksa pemeluk agama lain untuk memeluk agama Islam secara paksa. Karena tidak ada paksaan dalam agama. Allah berfirman:

لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Tidak ada paksaan dalam masuk ke dalam agama Islam, karena telah jelas antara petunjuk dari kesesatan. Maka barangsiapa yang ingkar kepada thoghut dan beriman kepada Alloh sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang kuat yang tidak akan pernah putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” ( Qs. Al-Baqoroh : 256 )
فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُسَيْطِرٍ

Berilah peringatan, karena engkau ( Muhammad ) hanyalah seorang pemberi peringatan, engkau bukan orang yang memaksa mereka.” ( Qs. Al-Ghosyiyah : 21 -22 )
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat tersebut menjelaskan: Janganlah memaksa seorangpun untuk masuk Islam. Islam adalah agama yang jelas dan gamblang tentang semua ajaran dan bukti kebenarannya, sehingga tidak perlu memaksakan seseorang untuk masuk ke dalamnya. Orang yang mendapat hidayah, terbuka, lapang dadanya, dan terang mata hatinya pasti ia akan masuk Islam dengan bukti yang kuat. Dan barangsiapa yang buta mata hatinya, tertutup penglihatan dan pendengarannya maka tidak layak baginya masuk Islam dengan paksa.
Ibnu Abbas mengatakan "ayat laa ikraha fid din" diturunkan berkenaan dengan seorang dari suku Bani Salim bin Auf bernama Al-Husaini bermaksud memaksa kedua anaknya yang masih kristen. Hal ini disampaikan pada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan ayat tersebut .
Demikian pula Ibnu Abi Hatim meriwayatkan telah berkata bapakku dari Amr bin Auf, dari Syuraih, dari Abi Hilal, dari Asbaq ia berkata, "Aku dahulu adalah abid (hamba sahaya) Umar bin Khaththab dan beragama nasrani. Umar menawarkan Islam kepadaku dan aku menolak. Lalu Umar berkata: laa ikraha fid din, wahai Asbaq jika anda masuk Islam kami dapat minta bantuanmu dalam urusan-urusan muslimin."
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapatlah kita tarik beberapa kesimpulan
v  Bahwa toleransi dalam Islam adalah toleransi sebatas menghargai dan menghormat pemeluk agama lain, tidak sampai pada sinkretisme.
v  Islam memiliki prinsip-prinsip dasar dalam toleransi ini, yakni menyatakan bahwa satu-satunya agama yang benar adalah Islam, Islam adalah agama yang sempurna, dan Islam dengan tegas menyatakn bahwa selain dari Islam tidak benar, atau salah. Dan sebagainya.
v  Toleransi Islam dalam hal beragama adalah tidak adanya paksaan untuk memeluk agama Islam.
v  Kemudian toleransi Islam terhadap hidup bermasyarakat dan bernegara, yakni islam membolekan hidup berdampingan dalam hal bermasyakat bernegara selama mereka tidak memusuhi dan tidak memerangi umat Islam. Dalam hal ini umat Islam diperintahkan berbuat baik dan menjaga hak-hak mereka dan sebagainya.


Jumat, 28 Oktober 2016

FEODALISME DI EROPA



BAB I

PENDAHULUAN


A.        LATAR BELAKANG MASALAH

Istilah feodalisme pada awalnya muncul di daratan Eropa, tepatnya di Perancis. Istilah feodalisme ini muncul pertama kali pada abad pertengahan. Walaupun istilah feodalisme ini baru muncul pada abad pertengahan, namun praktek-praktek feodalisme ini sudah muncul jauh sebelumnya. Praktek-praktek feodalisme ini tidak hanya muncul di daratan Eropa, namun juga muncul di daratan-daratan lain di luar daratan Eropa.
Dengan demikian pada makalah ini, kami akan  membahas tentang feodalisme di Eropa, perkembangannya dan perkembangan feodalisme di luar daratan Eropa.

B.     RUMUSAN MASALAH

Beberapa pokok permasalahan yang dibahas dalam makalah ini antara lain:
1.      Apa yang di maksud dengan feodalisme?

2.      Kapan muncul kata feodalisme di Eropa?

3.      Apakah perkembangan feodalisme juga terjada di luar daratan Eropa, dan bila juga berkembang di luar Eropa, bagaimana perkembangannya?















BAB II

PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN, AWAL KEMUNCULAN DAN PERKEMBANGAN FEODALISME DI EROPA


1.      PENGERTIAN FOEDALISME
Feudalism adalah sistem yang menggabungkan istiadat militer dan undang-undang (military and legal). Ianya muncul di zaman Eropah pertengahan (medieval), dan tumbuh maju pada kurun ke-9 hingga kurun ke-15. Menurut Francois-Louis Ganshof, feodalisme didefinisikan sebagai hubungan timbal-balik antara undang-undang dan tanggungjawab militer di tengah kebangsawanan pahlawan yang berkembang di sekitar tiga konsep asas yaitu lords (pemimpin/bangsawan), vassals (pengikut) dan fiefs (tanah pinjaman).
Menurut Kamus Besar Bahasa  Indonesia
Feodalisme  /Fe.o.dal.is.me/,ini mempunyai 3 pengertian :
1.      Sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan.
2.      Sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja .
3.      Sistem sosial di Eropa pada Abad Pertengahan yang ditandai oleh kekuasaan yang besar di tangan tuan tanah.
Feodalisme pada umumnya dikenal sebagai sistem sosial khas Abad Pertengahan (di Eropa maupun di belahan dunia lain) sebagai pembeda periode tersebut dari modernitas. Istilah tersebut dimunculkan di Perancis pada abad ke-16.
Istilah “feudal” (dalam konteks Eropa) berasal dari kata Latin “feudum” yang sama artinya dengan fief, ialah sebidang tanah yang diberikan untuk sementara kepada seorang vassal (penguasa bawahan atau pemimpin militer) sebagai imbalan atas pelayanan yang diberikan kepada penguasa (lord) sebagai pemilik tanah tersebut.Dalam hal ini  foedalisme berarti penguasaan hal –hal yang berkaitan dengan masalah kepemilikan tanah ,khususnya yang terjadi di Eropa Abad Pertengahan.
Dan istilah feodalisme(dalam konteks Prancis kuno) berasal dari bahasa Frankis  yang berbunyi fehu-ôd, feod, feud, dan yang berarti pinjaman, terutama tanah yang dipinjamkan, dan itupun untuk suatu maksud politik.
Istilah feodalisme sendiri dipakai sejak abad ke-17. Semenjak tahun 1960-an, para sejarawan memperluas penggunaan istilah ini dengan memasukkan pula aspek kehidupan sosial para pekerja lahan di lahan yang dikuasai oleh tuan tanah, sehingga muncul istilah "masyarakat feodal". Karena penggunaan istilah feodalisme semakin lama semakin berkonatasi negatif, oleh para pengkritiknya istilah ini sekarang dianggap tidak membantu memperjelas keadaan dan dianjurkan untuk tidak dipakai tanpa kualifikasi yang jelas.
Pada abad petengahan di Eropa yakni yang dimulai dengan runtuhnya Romawi dan berakhir pada masa renaisanse abad ke-14, sekitar abad ke-3, Romawi pecah menjadi dua wilayah yakni Romawi barat dan Romawi Timur, waktu-waktu tersebut merupakan permulaan munculnya perekonomian yang biasanya  disebut sistem feodalisme.
Beberapa faktor yang memunculkan perekonomian tersebut antara lain : hancurnya organisasi politik secara besar-besaran, pertempuran di Eropa yang menyebabkan jatuhnya Romawi, hukum dan tata tertib hilang digantikan dengan peraturan Negara-negara kecil.

2.      ASAL MULA SISTEM FOEDAL
 Keruntuhan Abad Kegelapan (Keruntuhan Romawi Barat)
 Membahas foedalisme di Eropa yang berlangsung selama tiga abad yaitu abad 9,10 dan 11 itu,pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan beberapa faktor yang setidaknya berpengaruh pada tumbuhnya benih-benih foedalisme di Eropa.Periode Abad Pertengahan awal antara tahun 500-1000 merupakan masa transisi dalam sejarah Eropa yg kacau sehingga disebut sebagai ‘abad kegelapan’. Periode ini ditandai dengan :

1.      Invasi suku-suku barbar, mula-mula orang-orang Jerman (Goth, Frank, Anglo-Saxon, dll), kemudian disusul bangsa Skandinavia (Viking) antara tahun 800-1000.

2.      Terbentuknya kerajaan-kerajaan Jerman dan terjadinya perang-perang perebutan wilayah kekuasaan antara kerajaan-kerajaan tersebut.

3.      Kehancuran Romawi Barat menyebabkan ekonomi bergeser dari kota-kota ke pedesaan. Pergeseran ini mendorong kemunculan sistem feodal di Eropa.
Disintegrasi Kekaisaran Romawi Barat setelah sekitar 800 tahun dengan serangkaiaan penaklukan ,ekspansi dan konsolidasi politik serta aktifitas kultural,kemudia digantikan perannya oleh Gereja. Jatuhnya Kekaisaran Romawi Barat, secara politis membawa pengaruh terjadinya berbagai kerajaan barbar di Eropa. Setiap kerajaan barbar harus berupaya menata pemerintahan sendiri, karena telah lepas dari pengaturan dan pengawasan Kekaisaran Romawi. Adapun berbagai negara Jerman yang penting,yang didirikan di atas reruntuhan Kerajaan Romawi Barat adalah:
1.      Kerajaan Goth Timur,wilayahnya meliputi Italia,Slav,dan Burgundia (Swiss).

2.      Kerajaan Goth Barat,meliputi Spanyol,Kerajaan Vandal di Afrika Utara,Kerajaan Franka di Perancis,Belgia,Belanda,dan Jerman Barat.Sementara itu,sumbangan bangsa Aglo-Saxons yang terhalau dari Jerman menyerbu ke tanah Inggris,kemudian mendesak bangsa-bangsa Kelt yang datang lebih dulu ke kepulauan itu.

Akibat runtuhnya Romawi Barat, telah menyebabkan wajah Eropa menjadi masyarakat Agraris dengan rumah tangga desa tertutup. Disitu tidak terdapat lalu lintas uang. Semua wujud kemasyarakatan didasarkan atas kepemilikan tanah. Hanya pemilik tanah yang memungkinkan adanya administrasi dan sistem militer negara,keadaan ini menciptakan kebutuhan akan tanah-tanah luas. Telah terjadi anarkhi selama tiga abad (abad 6,7,8) pada masa Keruntuhan Romawi, tercipta ketidakstabilan politik, terjadi anarkhi, tidak ada keamanan perorangan dan hak milik, di situ terjadi pertentangan semua melawan semua. Kekerasan terjadi dimana-mana ,para petani mencari perlindungan di sekitar benteng yang diperkuat terhadap ancaman penyerbuan gerombolan bersenjata. Maka, orang-orang merdeka makin lama makin tergantung pada tuan tanah,bahkan ada yang membayar dengan kemerdekaanya, tuan tanah bertindak sebagai pelindung kaum tani dan harta kekayaannya digunakan untuk biaya perang dan untuk memberi bantuan dalam bahaya kelaparan. Sebaliknya, balas jasa mengerjakan tanah untuk kepentingan tuan tanahnya. Dengan adanya kenyataan tersebut terjadilah hubungan foedal, para petani bersumpah setia dalam ikatan foedal untuk memenuhi kebutuhan hidup para tuan tanah yang memberi bantuan dan perlindungan, keselamatan hidup demi tuan tanah. 

Keharusan untuk mencukupi semua kebutuhan hidup menyebabkan timbulnya suatu organisasi yang baru, yaitu pertanian bangsawan atau manorial estate, selanjutnya disebut manor. Bagaimanakah bentuk manor ini? Manor meliputi sebidang tanah yang luas milik seorang bangsawan atau gereja. Manor merupakan suatu kesatuan sosial dan politik, dimana pemilik manor bukan hanya menjadi tuan tanah, tapi juga sebagai penguasa, pelindung, hakim dan kepala kepolisian. Walaupun bangsawa ini termasuk dalam suatu hirarki yang besar, dimana dia menjadi hamba dari bangsawan yang lebih tinggi, tapi dalam batas-batas manornya dia merupakan tuan tanah. Dia adalah pemillik dan penguasa yang tak diragukan lagi oleh orang-orang dan budak-budak yang hidup di manornya. Orang yang hidup diatas tanahnya dianggap oleh tuan tanah sebagai miliknya sebgaimana halnya rumah, tanah dan tanaman. Disekililing rumah bangsawan terdapat ladang rakyat yang telah dibagi-bagikan luasnya (satu) 1 atau (satu setengah) 1 ½ setengah hektar. ½ atau lebih dari hasil ladang ini menjadi milik tuan tanah, sedangkan sisanya untuk orang yang menggarapnya yang terdiri dari orang merdeka dan budak belian. Disini terjadi ketimpangan antara budak belian dan tuan tanah.
Dalam abad-abad itu makin lama makin banyak pemilik tanah yang bebas (yang ber-allod) dengan sukarela menyerahkan miliknya agar menjadi feod, milik orang lain, dengan mempertahankan hak pakai dan hak-guna-usaha atas tanahnya dahulu, dan dengan menerima hak-hak pelindungan. penjumlahan undang-undang tidak sanggup menghalang-halangi timbulnya kemerosotan. Ada tuan-tuan tanah yang menyalahgunakan kekuasaannya dengan sewenang-wenang, dengan menindas rakyat, ada pula yang memberontak terhadap pemerintah pusat dan menyatakan diri pemlik mutlak atas tanah yang dipinjamkan kepadanya. Tetapi tidak kurang pula penduduk-penduduk tanah pinjaman yang mengambil-alih tanah yang dipakanya menjadi tanah milik seorang. Huru-hara itu merupakan batu loncatan bagi penghapusan ke-feodal-an.
Pada tahun 1660 pemerintah Inggris membatalkan segala hak feodal. Tahun 1717 Negara Brandenburg mulai menjalankan allodifikasi (peralihan hak) dari tanah-tanah pinjaman. Pruisen menirunya tahun 1750. Montesquieu, seorang filsuf Prancis, dalam bukunya yang terkenal L’Esprit des Lois (tahun. 1748) untuk pertama kalinya menganjurkan istilah feodalisme untuk segala apa yang bersangkut paut dengan pemerintahan atas dasar pinjaman tanah. Ditambahkan olehnya bahwa feodalisme Frankis-Jerman adalah suatu peristiwa dalam sejarah yang hanya satu kali terjadi dan agaknya tidak pernah akan muncul kembali. Dalam revolusi Perancis segala hak feodal dibatalkan dalam keputusan 4 Agustus 1789 dan 17 Juli 1793, Nederland meniru pembatalan itu dalam 1800. Jerman, baru pada tahun 1850, sebagai akibat pemberontakan 1848, mencabut susunan feodal. Austria menjalankan pencabutan itu dalam 1862, ialah belum berselang satu abad dari saat ini.
Sistem feodalisme ini kemudian digeser oleh sistem kapitalisme yang dimulai di Italia, dimana hubungan antara kelas tuan tanah dan pekerja sangat jelas. Mobilitas sosial sangat tinggi, dan manusia tidak dinilai berdasarkan keturunan, namun dinilai dari kemampuan keterampilan dan kerjanya. Inilah yang menjadi dasar perbedaan antara feodalisme dan kapitalisme.

3.      FEODALISME DI LUAR DARATAN EROPA
Istilah feodalisme memang muncul pertama kali pada abad pertengahan di Perancis, namun praktek-praktek feodalisme ini telah berkembang jauh sebelum abad pertengahan, bahkan sudah sejak abad sebelum masehi.
 Contohnya, Dinasti Chou adalah dinasti ketiga di Cina dan pada masa ini diterapkan prinsip feodalisme dengan pembagian kekuasaan pemerintahan. Pemerintah pusat yang dipimpin kaisar dibagi menjadi daerah-daerah pemerintahan yang dipimpin oleh raja bawahan kemudian raja bawahan ini memberikan sebidang tanah kepada pejabat-pejabat pemerintah dan para bangsawan untuk mereka kelola. di penghujung tahun dinasti Chou yang didirikan sekitar 1100 SM. Berabad sebelum masanya, dinasti Chou sudah kehilangan keampuhannya selaku penguasa, dan Cina terpecah belah menjadi banyak sekali negara-negara feodal. Namun sistem feodal ini kemudian dihancurkan oleh Shih Huang Ti yang memproklamirkan diri selaku Wang (raja) seluruh Cina karena dia menganggap sistem tersebut telah memecah-belah Cina menjadi Negara-negara kecil, dengan menghancurkan sistem tersebut, dia bertekat menyatukan kembali seluruh Cina. Walaupun sistem feodal ini dihancurkan, namun kerajaan bawahan dari Cina yang tidak bersatu dengan dinasti Ch’in yang di bangun oleh Shi Huang Ti tetap menggunakan sistem feodal seperti kerajaan-kerajaan di Korea, yang mana raja memberikan tanah kepada kepada para pejabat pemerintah dan para bangsawan untuk mereka kelola, sebagai bawahan dari raja. Seperti di kerajaan Silla.
Selain itu, feodalisme juga berkembang di Indonesia. Feodalisme terlahir dari adanya kerajaan-kerajaan Hindu di Indonesia. Sejarah membuktikan bahwa Hinduisme telah dominan di Nusantara ini sebelum datangnya Islam dan kolonialisme, Karena memang kerajaan Hindulah yang tertua berkuasa di Nusantara ini. Sistem yang melekat dalam kerajaan Hindu adalah sistem feodalisme. Pengelompokan manusia sesuai dengan derajatnya tersebut. Feodalisme yang terjadi pada zaman kerajaan Hindu adalah pembagian kasta,dan menguasai Nusantara sekitar 10 abad  lamanya.
Feodalisme juga berkembang pada masa kolonial Belanda, walaupun Belanda mengembangkan sistem kapitalisme perkebunan di Indonesia yaitu dengan model “Tanam Paksa”, namun dalam pelaksanaannya tidak lepas dari tatanan yang feodal, dengan menggunakan bantuan orang-orang lokal.
Pada masa kini, di Indonesia selanjutnya muncul kebudayaan neo-feodalisme. Neo-feodalisme adalah feodalisme modern. Seperti yang kita ketahui feodalisme adalah sebuah faham dimana adanya pengakuan sistem kasta,dalam neo-feodalisme sistem kasta masih dipertahankan namun berubah  bentuk menjadi penguasa dan kaum elite. Di Indonesia neo-feodalisme masih ada dan berkembang dalam sistem pemerintahan dan telah menjadi budaya yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan Negara kita.



BAB III

PENUTUP

Secara umum sistem feodal yang terjadi pada abad pertengahan, yang mana suatu sistem dalam masyarakat saat itu terdapat dua kelas sosial yaitu kelas penguasa tuan tanah dan kelas pekerja yakni para budak belian. Tulisan ini menjadi gambaran yang menarik tentang kehidupan di zaman Feodal, hubungan dianatara tuan tanah dengan hambanya sering bersifat eksploitasi yang ekstrim. Tapi pada dasarnya masih terlihat suatu hubungan yang saling menguntungkan, masing-masing pihak memberikan imbalan-imbalan yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan dalam keadaan dimana organisasi dan stabilitas politik sudah tidak terorganisir lagi.
Ada setidaknya empat komponen utama yang membentuk sistem feodal yaitu :
1.      Lord adalah pemilik tanah, biasanya seorang bangsawan dari keluarga raja atau kalangan agamawan (uskup, biarawan)

2.      Vassal atau Knights adalah adalah kaum bangsawan yang memberikan jasa (umumnya dalam bentuk dukungan militer) kepada Lord dengan imbalan berupa tanah yang disewakan

3.      Fief adalah tanah yang disewakan berupa lahan-lahan pertanian

4.      Serf atau penggarap tanah ialah petani yang mengerjakan lahan pertanian dengan status
setengah budak.

Kemudian feodalisme ini digeser oleh kapitalisme, yang berbeda dengan feodalisme karena hubungan antara kelas pemilik tanah dan kelas pekerja dalam kapitalisme sangat jelas.
Feodalisme tidak hanya berkembang di Eropa, bahkan praktek feodalisme di Cina berkembang pada jauh abad sebelum masehi. Selain itu, di Indonesia sendiri feodalisme pertama kali berkembang pada masa kerajaan Hindu, dengan pembagian kasta-kasta.


DAFTAR PUSTAKA

Kamus Besar Bahasa Indonesia
Marvin Perry.Peradaban Barat dari zaman kuno sampai zaman pencerahan. Kreaksi Wacana  Bantul. 2012.
http://en.wikipedia.org/wiki/Feudalism/04/03/2016
http://www.pergerakankebangsaan.org/04/03/2016
http://www.hendria.com/feodalisme.html/05/03/2016
http://sejarah.kompasiana.com/feodalisme-di-asia/04/03/2016