Oleh : Muhammad Zul Fadhli Bin Rusli
Seperti yang kita ketahui bahwa mayoritas penduduk di Negara ini adalah penganut Agama Islam. Dan tidak asing bagi kita semua mengenai
warisan budaya Nusantara yaitu Nasi Tumpeng. Jika kita perhatikan, hampir
seluruh masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa, telah memberikan perhatian
dan kedudukan yang khusus dan istimewa terhadap nasi tumpeng ini. Dan hampir pada
setiap acara yang dilakukan baik dari kalangan atas, menengah maupun dilingkungan masyarakat awam, baik
dilingkungan organisasi, dilingkungan instansi pemerintah, perusahaan atau secara
perorangan tidak pernah ketinggalan
menyediakan yang namanya nasi tumpeng.
Nasi tumpeng telah menjadi ikon dalam berbagai acara yang berkaitan
dengan hajatan, kenduri, syukuran, ulang tahun, berbagai macam acara peletakan
batu pertama atau peresmian proyek-proyek yang biasanya ditandai dengan
pemotongan nasi tumpeng. Begitu pula pada dilakukannya upacara adat baik berupa
pesta sedekah laut dan sedekah bumi. Pihak penyelenggara acara merasa bahwa
tidaklah lengkap sebuah acara apabila tidak tersedia nasi tumpeng. Sehingga
banyak orang selalu berusaha menyediakan nasi tumpeng sebagai hal yang
utama.[1]
Tidak dilupakannya menyediakan nasi tumpeng dalam berbagai ragam
acara, dikarenakan nasi tumpeng di kalangan masyarakat tertentu dianggap
mempunyai keutamaan dan mengandung berkah. Karenanya mereka beranggapan bahwa
dengan menyediakan nasi tumpeng ini, diharapkan acara yang akan diselenggarakan
memberikan kebaikan bagi mereka.
Selain mengandung keutamaan berupa keberkahan, disediakannya nasi
tumpeng dalam berbagai acara adalah dalam rangka mewujudkan rasa syukur kepada
yang Maha Pencipta atas segala macam nikmat yang diberikan kepada manusia.
Sebagai rasa terimakasih atas segala pemberian dari Maha Pencipta tersebut maka
oleh manusia dibuktikan dengan menyediakan nasi tumpeng.
Filosofi Tumpeng : Sejarah dan Tradisi
Masyarakat di pulau Jawa, Bali dan Madura memiliki kebiasaan
membuat tumpeng untuk kenduri atau merayakan suatu peristiwa penting. Meskipun
demikian kini hampir seluruh rakyat Indonesia mengenal tumpeng. Falsafah
tumpeng berkait erat dengan kondisi geografis Indonesia, terutama pulau Jawa,
yang dipenuhi jajaran gunung berapi. Tumpeng berasal dari tradisi purba
masyarakat Indonesia yang memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam para hyang,
atau arwah leluhur (nenek moyang). Setelah masyarakat Jawa menganut dan
dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu, nasi yang dicetak berbentuk kerucut
dimaksudkan untuk meniru bentuk gunung suci Mahameru, tempat bersemayam
dewa-dewi.[2]
Meskipun tradisi tumpeng telah ada jauh sebelum masuknya Islam ke
pulau Jawa, tradisi tumpeng pada perkembangannya diadopsi dan dikaitkan dengan
filosofi Islam Jawa, dan dianggap sebagai pesan leluhur mengenai permohonan
kepada Yang Maha Kuasa. Dalam tradisi kenduri Slametan pada masyarakat Islam
tradisional Jawa, tumpeng disajikan dengan sebelumnya digelar pengajian Al
Quran.
Menurut tradisi Islam Jawa, "Tumpeng" merupakan akronim
dalam bahasa Jawa : yen metu kudu sing mempeng (bila keluar harus dengan
sungguh-sungguh). Lengkapnya, ada satu unit makanan lagi namanya "Buceng",
dibuat dari ketan; akronim dari: yen mlebu kudu sing kenceng (bila masuk
harus dengan sungguh-sungguh) Sedangkan lauk-pauknya tumpeng, berjumlah 7
macam, angka 7 bahasa Jawa pitu, maksudnya Pitulungan (pertolongan).
Tiga kalimat akronim itu, berasal dari sebuah doa dalam (Surah al Isra'
ayat 80): "Ya Tuhan, masukanlah aku dengan sebenar-benarnya masuk dan
keluarkanlah aku dengan sebenar-benarnya keluar serta jadikanlah dari-Mu
kekuasaan bagiku yang memberikan pertolongan". Menurut beberapa ahli
tafsir, doa ini dibaca Nabi Muhammad SAW waktu akan hijrah keluar dari kota
Mekah menuju kota Madinah. Maka bila seseorang berhajatan dengan menyajikan
Tumpeng, maksudnya adalah memohon pertolongan kepada Yang Maha Pencipta agar
kita dapat memperoleh kebaikan dan terhindar dari keburukan, serta memperoleh kemuliaan
yang memberikan pertolongan. Dan itu semua akan kita dapatkan bila kita mau
berusaha dengan sungguh-sungguh.[3]
Tumpeng merupakan bagian penting dalam perayaan kenduri
tradisional. Perayaan atau kenduri adalah wujud rasa syukur dan terima kasih
kepada Yang Maha Kuasa atas melimpahnya hasil panen dan berkah lainnya. Karena
memiliki nilai rasa syukur dan perayaan, hingga kini tumpeng sering kali
berfungsi menjadi kue ulang tahun dalam perayaan pesta ulang tahun.[4]
Dalam kenduri, syukuran, atau slametan, setelah pembacaan doa,
tradisi tak tertulis menganjurkan pucuk tumpeng dipotong dan diberikan kepada
orang yang paling penting, paling terhormat, paling dimuliakan, atau yang
paling dituakan di antara orang-orang yang hadir. Ini dimaksudkan untuk
menunjukkan rasa hormat kepada orang tersebut. Kemudian semua orang yang hadir
diundang untuk bersama-sama menikmati tumpeng tersebut. Adapun tetangga terdekat yang berhalangan
hadir, biasanya tetap diberikan bagian, yang dititipkan pada tetangga dekatnya.
Sebagian dari nasi tumpeng disantap di tempat dengan tidak mengunakan sendok
(muluk), sedangkan sebagian sisanya yang lain, dibungkus untuk dibawa pulang.
Jika tidak tersedia bungkusan, maka biasanya tuan rumah meminjamkan piring atau
wadah lain untuk dibawa pulang nasi kenduri, yang oleh masyarakat disebut
sebagai ‘‘nasi berkat’’.[5]
Disebut sebagai ‘‘nasi berkat’’, karena
memiliki dua konotasi makna dan tujuan. Pertama, bahwa nasi tumpeng tersebut dihidangkan
setelah ada ritual dan doa, sehingga diharapkan keberkahan dari Allah diberikan
kepada mereka yang ikut berdoa, atau bagi mereka yang menyantap hidangan
tersebut. Kedua, bahwa berkat berasal dari bahasa Arab ‘‘barkah’’ yang maknanya
bertambah. Hal ini sesuai dengan ketentuan Firman Allah, bahwa barang siapa yang bersyukur akan ditambah nikmatnya.
Sedangkan kenduri adalah media tasyakur tersebut, sehingga ada harapan Allah
memberikan tambahan keberkahan dan pahala serta kesejahteraan bagi tuan rumah
dan yang diundang.
Ada beberapa macam tumpeng ini, di antaranya
sebagai berikut : (1). Tumpeng Robyong. Tumpeng ini biasa disajikan pada
upacara siraman dalam pernikahan adat Jawa. Tumpeng ini diletakkan di dalam
bakul dengan berbagai sayuran. Di bagian puncak tumpeng ini diletakkan telur
ayam, terasi, bawang merah dan cabai. (2). Tumpeng Nujuh Bulan. Tumpeng ini
digunakan pada syukuran kehamilan tujuh bulan, dan terbuat dari nasi putih.
Selain satu kerucut besar di tengah, tumpeng ini juga dikelilingi enam buah
tumpeng kecil lainnya. Biasa disajikan di atas tampah yang dialasi daun pisang.
(3). Tumpeng Pungkur. Digunakan pada saat kematian seorang wanita atau pria
yang masih lajang. Dibuat dari nasi putih yang disajikan dengan lauk-pauk
sayuran. Tumpeng ini kemudian dipotong vertikal dan diletakkan saling membelakangi.
(4). Tumpeng Putih. Warna putih pada nasi putih menggambarkan kesucian dalam
adat Jawa. Digunakkan untuk acara sakral. (5). Tumpeng Nasi Kuning. Warna
kuning menggambarkan kekayaan dan moral yang luhur. Digunakan untuk syukuran
acara-acara gembira, seperti kelahiran, pernikahan, tunangan, dan sebagainya. (6).
Tumpeng Nasi Uduk. Disebut juga tumpeng rasul (metua dalam kang lempeng =
lewatilah jalan yang lurus mengikuti ajaran Rasul Allah), karena memiliki nilai
simbolis hidup dengan mengikuti jalan yang lurus sesuai ajaran Rasul, dengan
ciri khas adalah ingkung (inggala njungkung atau bersujud), yakni
beribadah kepada Allah. Disebut nasi uduk, yang sebenarnya adalah nasi
wudlu’,karena selama proses memasaknya harus dalam keadaan suci dengan
berwudlu’ terlebih dahulu.[6]
Dan dari sini dapat kita ketahui bahwa nasi
tumpeng berasal dari budaya agama Hindu yang mempercayai tumpeng sebagai gunung
suci tempat bersemayam dewa-dewi. Dan setelah masuknya Islam ke pulau Jawa,
tradisi tumpeng mengalami perkembangan dan diadopsi dan dikaitkan dengan
filosofi Islam Jawa, dan dianggap sebagai pesan leluhur mengenai permohonan
kepada Yang Maha Kuasa. Adapun bila tumpeng ini dibuat dalam rangka acara-acara
atau ritual-ritual di atas, maka Islam tidak membenarkannya. Karena mengandungi
unsur-unsur Syirik dan Bid’ah dan tidak bersesuaian dengan ajaran Islam itu
sendiri. Namun kalau sekedar membuat tumpeng sebagai seni memasak tanpa
disertai acara dan ritual tersebut, maka tidaklah mengapa.
Daftar Pustaka
Faizah, Efendi, Muchin, Lalu, Psikologi
Dakwah, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2006) cet.I.
Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XI/1428H/2008. (Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta).
PISS-KTB, Ebook Kumpulan Tanya Jawab :
Hasil Bahtsul Masail dan Tanya Jawab Agama Islam (Pustaka Ilmu Sunni
Salafiyah- KTB, 2013)
Sholikhin, Muhammad, Ritual Dan Tradisi
Islam Jawa, (Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2010) cet.I.
[1] Majalah
As-Sunnah Edisi 10/Tahun XI/1428H/2008. (Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta).
[2] PISS-KTB, Ebook
Kumpulan Tanya Jawab : Hasil Bahtsul Masail dan Tanya Jawab Agama Islam
(Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah- KTB, 2013), hlm.381.
[5] Sholikhin,
Muhammad, Ritual Dan Tradisi Islam Jawa, (Yogyakarta: Penerbit Narasi,
2010) cet.I, hlm.58.
[6] Faizah, Efendi,
Muchin, Lalu, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2006)
cet.I.hlm. xiv.